Tahun ini Champions League kembali dijuarai oleh tim yang dibela oleh pemain terbaik sepanjang tahun. Tahun lalu Ronaldo boleh dibilang sebagai pemain paling konsisten dan berhasil membawa MU merajai Eropa. Semusim di belakangnya Kaka lah yang dipuja-puja, dan membawa AC Milan menghempaskan Liverpool di partai puncak. Kali ini Messi lah dengan Barcelona-nya yang jadi kampiun eropa. Siapa yang tak meragukan titisan Maradona ini merupakan pemain terhebat tahun ini. Jadi top skorer di Champions League, tampil konsisten di Liga Spanyol, dan apik di timnas meski sempat tercoreng kekalahan di Bolivia. Di partai pamungkas kali ini pun namanya tertoreh di daftar pencetak gol lewat sundulannya di menit 70.
Tapi siapa yang menyangka sang bintang bukanlah pemeran utama di panggung final. Berkaca ke para tokoh utama sebelumnya, partai final tahun lalu pun malahan menjadikan Terry bintang utama. Peran antagonisnya menjadi sorotan para pendukung Chelsea lewat aksi terpelesetnya ketika mengambil tendangan penalti meski telah tampil ngotot sepanjang 120 menit. Mengingat kembali adegan musim 2006/2007 pun tentu tak kan sangsi bahwa aksi Inzaghi lah yang jadi pemupus harapan The Kop. Musim ini, kolektifitas Barca memang layak diacungi jempol. Barca bukanlah Messi seorang. Imej itulah yang berhasil ditanamkan tim ini sepanjang musim, walaupun akhirnya pujian sering melayang ke diri sang bintang. Meskipun baru saja saya mengintip situs resmi UEFA yang memilih Messi sebagai Fans Man of The Match, tapi gelar Man of The Match versi saya adalah Xavi. Dengan tidak lupa memberi kredit plus kepada Puyol yang ngotot dalam bertahan bahkan menyerang. Xavi jadi peran sentral karena fungsinya sebagai penyeimbang. Di kala pemain Azulgrana lebih banyak memainkan sepakbola indah dan taktis, Xavi tetap bisa tampil lugas. Saat bola tik-tak pendek ala Barca diperagakan, ia tak luput untuk merubah ritme dengan bola panjang terukurnya. Pastinya tanpa melupakan juga aksi individu yang terkesan menjadi hal wajib untuk diperagakan oleh pemain Barca musim ini.
Faktor melempemnya MU lebih besar membantu kemenangan Barcelona kali ini. Sempat menggebrak di menit awal lewat tendangan bebas Ronaldo, MU malah melanjutkan permainan secara monoton. Malahan Eto’o yang berhasil mencuri peluang dan mensahkannya sebagai pembuka kemenangan Barca. Selebihnya babak pertama hanya menjadi permainan hati-hati dari kedua tim. Umpan-umpan pendek pemain Barca dari kaki ke kaki pun berjalan dalam tempo yang lamban. Absennya Daniel Alves juga mengurangi tusukan Barca dari kiri. Sayangnya pemain MU tak cukup memberi pressing ketat. Karena permainan keras lah yang tampaknya bisa menghentikan Barca. Ingat kembali Chelsea yang hampir saja memusnahkan mimpi treble tim Catalan ini. Rooney malahan main lebih ke pinggir dan Tevez tidak dimainkan dari awal. Ronaldo pun tak mampu menurunkan egonya untuk merubah gaya permainan timnya. Giggs kali ini tak memiliki petuah layaknya ia biasa menjadi pembuka jalan di saat MU buntu.
Di babak kedua permainan lebih terbuka. Asa kembali dilimpahi keajaiban seperti musim 1998/1999 mungkin masih menghinggapi para pendukung MU. Sepuluh tahun silam gol tendangan bebas Mario Basler di awal-awal pertandingan berhasil dimentahkan keuletan pemain MU di akhir pertandingan. Namun sayangnya di babak kedua tetap saja MU sama sekali tak punya peluang mengembangkan kreatifitas. Masuknya Tevez tak berhasil mengubah keadaan. Malahan Puyol lah yang tampil dominan. Di lini pertahanan, bentrokannya beberapa kali dengan Ronaldo semakin membuat frustasi sang bintang musim lalu ini. Sesekali umpan aksi provokatifnya termakan oleh Ronaldo, yang berakibat semakin tak bermuaranya serangan Si Setan Merah. Sementara itu sempat-sempatnya pula Puyol ikut merangsek ke depan, bahkan hingga melakukan tusukan ke kotak penalti. Alhasil, Xavi lah yang beraksi. Umpan jauhnya berhasil dimanfaatkan Messi yang tak terjaga lewat sundulan. Sebuah gol yang tak disangka oleh para pemain MU. Sekaligus menjadi pintu bagi Barca untuk pergi jauh ke awan meskipun masih 20 menit tersisa. Setelah itu dua peluang berhasil diciptakan MU namun berujung hampa. Berbatov yang sudah dimasukkan pun tak mampu berbicara banyak. Sisa waktu hanya jadi penantian pesta Barcelona di Roma. Olimpico merah-biru di tangan Barcelona. Manchester United gagal membuat sejarah dengan menjadi tim pertama yang berhasil mempertahankan gelar sejak format Champions League digunakan.
Walaupun bukan partai yang hebat, tapi cukup berharga untuk disaksikan. Cukup untuk memacu adrenalin bergejolak hingga tak sabar ingin pergi ke lapangan dan bermain dengan si kulit bundar.